Senin, 17 Januari 2011

Semut, Laba-laba, Lebah

Semut, Laba-Laba dan Lebah
23 Juni 2010,
Prof. H.M. Quraish Shihab

Tiga binatang kecil menjadi nama dari tiga surah di dalam Al-Quran, yaitu
Al-Naml (semut), Al-’Ankabut ( laba-laba), dan Al-Nahl (lebah).


Semut menghimpun makanan sedikit demi sedikit tanpa henti-hentinya. Konon,
binatang kecil ini dapat menghimpun makanan untuk bertahun-tahun sedangkan
usianya tidak lebih dari satu tahun. Kelobaannya sedemikian besar sehingga ia
berusaha – dan seringkali berhasil – memikul sesuatu yang lebih besar dari
badannya, meskipun sesuatu tersebut tidak berguna baginya.
Dalam surah Al-Naml antara lain diuraikan sikap Fir’aun, juga Nabi
Sulaiman yang
memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang manusia pun sebelum dan
sesudahnya. Ada juga kisah raja wanita yang berusaha menyogok Nabi
Sulaiman demi
mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya.

Lain lagi uraian Al-Quran tentang laba-laba: Sarangnya adalah tempat
yang paling
rapuh (QS 29: 41), ia bukan tempat yang aman, apa pun yang berlindung di sana
atau disergapnya akan binasa. Jangankan serangga yang tidak sejenis, jantannya
pun setelah selesai berhubungan seks disergapnya untuk dimusnahkan oleh
betinanya. Telur-telurnya yang menetas saling berdesakan hingga dapat saling
memusnahkan. Demikianlah kata sebagian ahli. Sebuah gambaran yang sangat
mengerikan dari sejenis binatang.

Akan halnya lebah, memiliki insting yang – dalam Al-Quran – “atas
perintah Tuhan
ia memilih gunung dan pohon-pohon sebagai tempat tinggal” (QS 16: 68), dan
sarangnya dibuat berbentuk segi enam bukannya lima atau empat agar
tidak terjadi
pemborosan dalam lokasi. Yang dimakannya adalah kembang-kembang dan tidak
seperti semut yang menumpuk-numpuk makanannya, lebah mengolah makanannya dan
hasil olahannya adalah lilin dan madu yang sangat bermanfaat bagi
manusia. Lilin
digunakan untuk penerang dan madu – kata Al-Quran – dapat menjadi obat yang
menyembuhkan. Lebah sangat disiplin, mengenal pembagian kerja, dan segala yang
tidak berguna disingkirkan dari sarangnya. Lebah tidak mengganggu kecuali yang
mengganggunya, bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat.

Sikap hidup manusia seringkali dibandingkan dengan berbagai jenis binatang.
Jelas ada manusia yang “berbudaya semut”, yaitu menghimpun dan menumpuk ilmu
(tanpa mengolahnya) dan materi (tanpa disesuaikan dengan kebutuhannya). Budaya
semut adalah “budaya menumpuk” yang disuburkan oleh “budaya mumpung”. Tidak
sedikit problem masyarakat bersumber dari budaya tersebut. pemborosan adalah
anak kandung budaya ini yang mengundang hadirnya benda-benda baru yang tidak
dibutuhkan dan tersingkirnya benda-benda lama yang masih cukup indah untuk
dipandang dan bermanfaat untuk digunakan. Dapat dipastikan bahwa dalam
masyarakatkita, banyak sekali semut yang berkeliaran.

Entah berapa banyak jumlah laba-laba yang ada di sekitar kita, yaitu
mereka yang
tidak lagi butuh berpikir apa, di mana, dan kapan ia makan, tetapi yang mereka
pikirkan adalah “siapa yang akan mereka jadikan mangsa.”

Nabi Saw mengibaratkan seorang Mukmin sebagai lebah, sesuatu tidak merusak dan
tidak pula menyakitkan: “tidak makan kecuali yang baik, tidak menghasilkan
kecuali yang bermanfaat dan jika menimpa sesuatu tidak merusak dan tidak pula
memecahkannya.

Dapatkah kita menjadi ibarat lebah, bukan semut apalagi laba-laba?

Sumber: Lentera Hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar